Alkisah, hiduplah sebuah keluarga yang sangat miskin. Mereka selalu makan nasi tanpa lauk, hanya mengandalkan sedikit garam atau kerupuk seadanya.
Mereka hidup bertetangga dengan seseorang yang cukup kaya. Setiap hari, dari rumah si kaya tercium aroma masakan lezat yang sedang dimasak. Aroma itu menguar, memenuhi udara, dan terbawa hingga ke gubuk keluarga miskin di sebelahnya.
Setiap kali aroma masakan itu tercium, keluarga miskin tersebut buru-buru mengambil nasi. Mereka menyantap nasi mereka dengan lahap, seolah aroma masakan dari rumah tetangga itu adalah lauk pauk mereka. Begitulah cara mereka "makan dengan lauk" dari aroma masakan si tetangga kaya.
Kabar tentang kebiasaan keluarga miskin ini akhirnya sampai ke telinga si tetangga kaya. Ia diberitahu bahwa selama ini si miskin dan keluarganya ternyata menikmati aroma masakannya. Namun, bukannya merasa iba atau tergerak untuk membantu, si tetangga kaya justru dilanda amarah. Ia merasa dirugikan dan berniat menuntut perhitungan terhadap keluarga malang itu.
Maka, pada suatu siang, si tetangga kaya mendatangi rumah keluarga miskin didampingi beberapa petugas hukum. Dengan congkak, ia menuntut agar si miskin membayar ganti rugi karena telah menghirup aroma masakannya tanpa izin, yang menurutnya membuat aroma masakannya berkurang. Tentu saja si miskin sangat terkejut dan tidak percaya dengan tuntutan aneh tersebut. Namun, para petugas hukum yang bersamanya justru mendukung klaim yang tidak masuk akal itu.
Karena tak punya harta benda sedikit pun untuk membayar, si miskin beserta istri dan anak-anaknya segera ditangkap oleh petugas hukum dan dibawa ke pengadilan. Di pengadilan, seperti sudah diatur sebelumnya, keluarga miskin itu dinyatakan bersalah atas tuduhan tersebut dan dijebloskan ke dalam penjara.
Kabar tentang keputusan yang sangat tidak adil ini akhirnya sampai ke telinga Abunawas. Tanpa menunda, Abunawas segera membayar uang tebusan untuk membebaskan keluarga miskin itu dari penjara. Setelah itu, ia menghadap Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad untuk melaporkan kejadian yang menimpa keluarga tersebut.
Sultan murka mendengar cerita kesewenang-wenangan dan ketidakadilan itu. Beliau segera memerintahkan pengawalnya untuk menjemput si miskin, si tetangga kaya, serta hakim dan petugas hukum yang terlibat dalam kasus zalim itu ke istana.
Setelah semua berkumpul di hadapan Sultan, Abunawas dipersilakan untuk berbicara.
“Ampun Tuanku Sultan,” ujar Abunawas memulai, “hamba memohon perkenan Tuanku untuk membantu si miskin ini membayar 'aroma lauk' yang diklaim telah berkurang oleh tetangga kayanya ini, sebesar 50 keping uang emas.”
Meskipun merasa heran dengan permintaan tersebut, Sultan yang mengetahui kecerdasan Abunawas bersedia mengabulkannya.
Abunawas mengambil 50 keping uang emas dari Sultan dan membungkusnya dengan kain. Kemudian, di hadapan semua orang, ia mengguncang bungkusan itu kuat-kuat hingga terdengar bunyi dencing uang yang nyaring. Si tetangga kaya menatap bungkusan itu dengan mata berbinar dan tersenyum lebar mendengar suara emas berdenting.
“Bagaimana, Tuan,” tanya Abunawas pada si kaya, “apakah suara dencing uang emas ini sudah cukup untuk membayarmu?”
Si tetangga kaya mengangguk penuh semangat.
Abunawas lalu mengguncang bungkusan itu lagi, kali ini tepat di dekat telinga si tetangga kaya. Setelah itu, ia menggenggam erat bungkusan tersebut dan mengguncangnya kembali, namun kini tak ada suara yang terdengar.
Menghadap Sultan, Abunawas berkata, “Tuanku Sultan, suara dencing uang emas ini telah didengar oleh si kaya. Sama seperti si miskin yang hanya menghirup aroma masakan si kaya. Karena si miskin hanya menikmati aromanya, maka si kaya cukup dibayar dengan mendengarkan bunyinya. Dan kini, bunyinya sudah hilang karena telah didengarnya. Artinya, hutang si miskin telah lunas terbayar.”
Sultan Harun al-Rasyid tersenyum puas mendengar penjelasan cerdik Abunawas. Beliau lalu memerintahkan si tetangga kaya untuk membayar 100 keping uang emas kepada keluarga miskin sebagai ganti rugi atas penderitaan mereka dan hukuman atas ketidakpedulian serta keserakahannya. Adapun hakim dan petugas hukum yang zalim itu, Sultan segera memerintahkan pemecatan mereka dari jabatan karena telah menindas rakyat kecil.
* * *
0 Komentar
Tulis komentar Anda dengan bijak!