Dikisahkan pada suatu masa, seorang ayah dan anak laki-lakinya berencana pergi ke kota. Mereka memiliki seekor keledai yang rencananya akan ditunggangi. Si ayah sudah cukup berumur, namun masih kuat berjalan. Anaknya adalah seorang remaja tanggung, belum sepenuhnya dewasa, namun juga bukan anak kecil lagi.
Keledai mereka berukuran agak kecil dibandingkan keledai lain, meskipun terlihat gempal, tegap, dan kuat. Setelah berdiskusi, ayah dan anak itu sepakat untuk menggunakan keledai tersebut menuju kota.
Saat baru hendak memulai perjalanan, mereka ditegur oleh para tetangga di sekitar rumah. "Kenapa kalian begitu tega? Kasihan sekali keledai kecil ini harus menanggung beban dua orang sekaligus! Pasti keledai itu sangat menderita."
Mendengar teguran itu, si ayah segera turun dari keledai. Ia memutuskan membiarkan anaknya tetap di atas keledai, berpikir bahwa ia sendiri masih kuat untuk berjalan kaki. Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Namun, ketika melintas di sebuah kampung, mereka kembali mendapat teguran, kali ini berupa cercaan dari penduduk kampung. "Dasar anak tidak tahu diri! Enak-enakan duduk di atas keledai, sementara bapaknya yang sudah tua dibiarkan berjalan kaki sendirian. Sungguh, ini tanda-tanda anak durhaka!"
Si anak terpikir, perkataan orang-orang kampung itu ada benarnya. Ia merasa bapaknya yang lebih pantas duduk di atas keledai. Ia pun turun dan meminta ayahnya untuk naik keledai. Dia sendiri berjalan kaki di samping keledai, persis seperti yang dilakukan ayahnya tadi. Perjalanan kembali diteruskan.
Tak begitu jauh dari luar kampung, mereka berpapasan dengan rombongan pedagang. Lagi-lagi, mereka mendapat teguran keras. "Sungguh ayah yang tega dan tak menyayangi anaknya! Dia enak-enakan duduk di atas keledai, sementara anaknya yang masih kecil dibiarkan berjalan kaki. Di mana akal sehatnya? Apakah dia sudah tidak waras?"
Ayah dan anak itu tertegun mendengar perkataan para pedagang. Mereka terpikir, perkataan itu juga ada benarnya. Akhirnya, si ayah turun dan memilih berjalan kaki bersama anaknya. Keduanya berjalan berdampingan, memimpin keledai mereka menuju kota.
Ketika perjalanan hampir sampai di tujuan, mereka diledek oleh orang-orang kota. "Hahaha... lihat itu! Jarak dari kampung ke kota ini kan jauh sekali! Mengapa keledai itu tidak kalian tunggangi? Bukankah keledai gunanya untuk dinaiki?!"
Mendengar ledekan terakhir itu, si ayah dan anaknya benar-benar bingung. Ternyata, apa pun tindakan mereka, selalu ada saja orang yang mengkritik dan menganggapnya salah. Tak ada satu pun cara yang mereka pilih yang dianggap benar di mata semua orang.
***
0 Komentar
Tulis komentar Anda dengan bijak!