![]() |
Dalam berbagai literatur, aksara ini juga dikenal dengan nama Jawi, Jawoe, atau Kawung, sedangkan dalam bahasa Jawa disebut sebagai Pegon. Namun untuk memudahkan pembahasan, dalam artikel ini istilah yang digunakan adalah Arab Melayu.
Peran Strategis Aksara Arab Melayu di Nusantara
Penggunaan Arab Melayu tidak hanya terbatas pada komunikasi antarsesama bangsa Melayu. Aksara ini juga digunakan dalam urusan diplomasi dan perdagangan dengan bangsa Eropa, seperti pada surat-menyurat antara raja-raja Melayu dan pemerintah kolonial.
Menariknya, aksara Arab Melayu pernah menjadi semacam “label halal” pada zamannya. Produk-produk dari Cina dan Eropa mencantumkan tulisan Arab Melayu di kemasannya agar dapat diterima oleh masyarakat Muslim di kawasan Melayu.
Kewajiban membaca Al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam turut memperluas penggunaan aksara ini. Dulu, siapa pun yang bisa membaca Al-Qur’an hampir pasti bisa membaca Arab Melayu, karena keduanya menggunakan huruf Arab.
1. Upaya Pembakuan Kaidah Aksara Arab Melayu
Seiring makin meluasnya penggunaan aksara Arab Melayu, muncul berbagai ragam bentuk penulisan yang tidak seragam. Hal ini mendorong beberapa tokoh untuk melakukan pembakuan kaidah.
1.1. Abdullah bin Abdul Qadir al-Munsyi
Pada awal abad ke-19, beliau memulai upaya pembakuan ejaan di Singapura. Ia mengirimkan revisi penulisan kepada para penulis amatir dan bahkan dipercaya oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu yang baku.
1.2. Raja Ali Haji dan Herman Von de Wall
Di Penyengat, Raja Ali Haji bersama Residen Riau, Herman Von de Wall, menyempurnakan berbagai karya sastra dan bahasa, seperti Bustan al-Katibin, Kamus Melayu-Nederland, dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
1.3. Tan Sri Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba)
Pada abad ke-20, Za’ba menyusun Kaidah Huruf Jawi untuk madrasah di Malaysia dan Singapura, yang menjadi rujukan utama hingga hari ini.
Meski telah ada konvensi lanjutan pada 1984 di Melaka, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia justru menerbitkan versi baru bernama Ejaan Jawi Yang Disempurnakan (EJYD). Namun, sejumlah tokoh seperti Hassan Junus menyatakan bahwa penambahan huruf-huruf baru (seperti V dan X) tidak sesuai dengan prinsip dasar Arab Melayu yang hanya mewakili bunyi, bukan huruf asing.
2. Upaya Penghapusan Aksara Arab Melayu
Kritik terhadap ketidakkonsistenan penulisan Arab Melayu sering dijadikan alasan untuk menghapus penggunaannya. Misalnya, dalam satu dokumen yang sama, ejaan untuk kata "kepada" bisa berbeda. Hal ini dianggap sebagai kelemahan sistematis oleh kalangan orientalis dan kelompok anti-Islam.
Mulai masa kolonial hingga penjajahan Jepang, berbagai upaya dilakukan untuk melemahkan eksistensi Arab Melayu. Namun, justru karena dianggap simbol perlawanan terhadap penjajah, aksara ini tetap bertahan—bahkan menjadi standar kepercayaan dalam produk konsumsi masyarakat Melayu.
3. Kemunduran Aksara Arab Melayu
Kemunduran besar terjadi pasca Revolusi Turki 1924 yang dipimpin Mustafa Kemal Atatürk. Semua simbol Islam, termasuk tulisan Arab, dilarang dan digantikan oleh huruf Latin.
Pengaruh ini sampai ke Nusantara. Pada 1950-an, Kongres Bahasa di Singapura dan Medan menghasilkan resolusi untuk mengganti Arab Melayu dengan aksara Latin. Sejak saat itu, penerbitan di Malaysia dan Indonesia mulai beralih ke Latin.
Di Indonesia, pada tahun 1980-an, orang yang tak bisa membaca huruf Latin dianggap buta huruf, meskipun mereka bisa membaca Arab Melayu dan Al-Qur’an. Kebijakan ini menyebabkan generasi setelah 1970-an nyaris tidak mengenal Arab Melayu.
Ironisnya, penggunaan huruf Latin malah mempercepat hilangnya kosa kata asli Melayu. Kini, banyak istilah asing menggantikan istilah Melayu, hingga bahasa asli semakin terpinggirkan.
4. Kebangkitan Kembali Arab Melayu di Riau
Semangat menghidupkan kembali Arab Melayu mulai muncul pada 1990-an di Pekanbaru. Tokoh seperti GP Ade Darmawi dan kawan-kawan memelopori pemasangan plang nama jalan dalam aksara Arab Melayu di malam hari agar tidak mengganggu lalu lintas.
Pada 2002, Barisan Muda Melayu Riau memperkenalkan backdrop Arab Melayu dalam acara organisasi, yang kemudian menginspirasi pemerintah daerah untuk melakukan hal serupa di kantor-kantor pemerintahan.
Mulai 2012, Lembaga Adat Melayu Riau memperluas penggunaan aksara ini dalam undangan, sertifikat, dan dokumen resmi. Bahkan sempat dijadikan Muatan Lokal Wajib untuk tingkat SD dan SMP di Riau.
Namun demikian, jumlah literatur dan media pembelajaran Arab Melayu masih sangat minim. Kebangkitan Arab Melayu akan lebih kokoh jika tidak hanya dilestarikan sebagai budaya, tetapi juga dipopulerkan kembali dalam kehidupan sehari-hari.
Penutup: Masa Depan Aksara Arab Melayu
Aksara Arab Melayu bukan hanya warisan sejarah, melainkan simbol jati diri dan peradaban bangsa Melayu. Pembakuan kaidah, penghapusan, kemunduran, dan kebangkitan kembali adalah bagian dari siklus panjang yang dilaluinya.
Kini saatnya generasi muda Melayu kembali mempelajari dan mempraktikkan Arab Melayu, tidak hanya sebagai simbol budaya, tetapi sebagai bentuk cinta terhadap bahasa, agama, dan sejarah nenek moyang mereka.
1 Komentar
Di pulau Jawa arab Melayu di perkenal kan dengan nama
BalasHapusTulis komentar Anda dengan bijak!